Komandan Kini Tak Sendiri Lagi

Beberapa hari ini iklim demokrasi dan hiruk pikuk dunia poitik di Sulsel begitu apik ditayang dari mulau episode citra cagub hingga episode santai dan sehatnya warga Sulsel. Hari ini (30/10/16) kita menyaksikan atau bahkan mungkin merasakan begitu antusiasnya masyarakat turun kejalan-jalan utama kota daeng, bukan demontrasi pastinya melainkam berolahraga santai sambil bersilaturahmi seperti layaknya warga kota yang menikmati weekend dipagi hari. Tentu salah satu motivasinya berharap keberuntungan bisa membawa pulang hadiah rumah, umroh, sepeda, televisi, dll atau paling tidak bisa pulang dengan keringat membasahi baju pertanda anugerah kesehatan telah diraih.

Ribuan dan sekian ribu, teriak status nitezen di media sosial dan trending topik diskusi penghuni warkop yang sempat hadir dan dikuatkan dengan dengan foto serta video lautan manusia dengan seragam yang sama. Di Makassar memang sedang ada gawai dua organisasi yang sedang memperingati hari ulang tahunnya, organisasi yang sama- sama sudah berumur, organisasi yang lahir dari induk yang sama dan dimasa jayanya mereka selalu seiring sejalan bergandengan tangan menuju pulau harapan baik pada kepentingan nasional maupun lokal.

Golkar dan FKPPI dibentuk di era orde baru walau berbeda orientasi. Di usianya masing-masing Golkal Sulsel dan FKPPI Sulsel, entalh disengaja atau kebetulan menggelar acara yang sama, diwaktu yang sama dan ditempatnya juga tak jauh berjarak.  Jalan Santai Partai Golkar dan Jalan Santai Bela Negara FKPPI kegiatan itu diberi judul, dihadiri tokoh elit nasional hingga daerah dan dihibur oleh artis ibukota dari kerja keras dan  sosialisasi yang massif masing-masing panitia telah menyajikan tayangan episode menarik.

Dibalik ceriahnya minggu pagi di Kota Makassar, tersirat rentetan cerita panjang tentang politik kepengtingan dan kepentingan politik yang pengantar dimulainya episode baru politik pra pilkada langsung di 2018. Sebelumnya kita coba look back  beberapa waktu untuk menelisik gambaran dagelan politik local di Sulsel. Sama seperti kelahiran dua organisasi diatas, elit-elit politik Sulsel berpengaruh baik yang berkiprah dipanggung nasional maupun lokal berasal dari akar yang sama.

Akar yang berasal dari rindangnya pohon beringin sulsel yang kemudian menjelma menjadi beringin-beringin lain tentu dengan wujud berbeda. Sebut saja Syahrul Yasin Limpo, Nurdin Halid, Ilham Arief Sirajuddin, Ichsan Yasin Limpo, Agus Arifin Nu’mang serta sederet nama yang pernah merasakan kebanggaan bernaung dibawah beringin kuning.

Keampuhan dari tuah Partai Golongan karya memang tak perlu diragukan lagi, melewati masa demi masa, dari rezim ke rezim dalam perjalanan sejarah perpolitikan di Indonesia. Tauh dari sebuah partai yang menjadikan warna kuning sebagai warna kebesarannya pun terlihat dari kader-kader Golkar yang kemudian mendominasi elit-elit lokal di Sulsel, tak salah jika Sulsel kemudian mendapatkan predikat sebagai lumbung suara Golkar. Kurung waktu sepuluh tahun terakhir dan puncak rivalitas dari anak-anak emas Beringin Sulsel terlihat jelas pada Pilgub 2014.  Bangunan poros kepentingan politik Sulsel di 2014 terpolarisasi pada dua klan besar yakni klan SYL dan klan IAS. Syahrul dan Aco nama panggilan kedua punggawa klan dikala itu, mereka merupakan dua figure yang secara personal cukup dekat dan bersama Nurdin Halid yang kemudian memilih hijrah pada kancah politik nasional pernah duduk bersama membuat alur scenario cerita untuk episode politik di Sulsel. Bahkan konon kabarnya, kakak beradik seperguruan tersebut mempunyai jurus dan kesaktian yang tak jauh berbeda dalam dunia politik, sehingga mereka tak menemukan pendekar politik yang cukup tanggung untuk dijadikan lawan tanding di Sulsel. Sehingga tak punya pilihan selain saling berhadap-hadapan untuk membuktikan kesaktian ilmu kanuragan mereka.

Kembali pada Pilgub 2014, masih jelas ingatan kita kala itu dimana kata Don’t Look Back dan Semangat Baru Sulsel senantiasa menghiasa keseharian masyarakat baik koran, televisi, billboard, baliho, spanduk, tiang listrik hinga batang-batang pohon. Seakan menjadi perwakilan wujud dua tokoh raksasa berebut simpati dan dukungan. Bakhan kemenangan Sayang yang merupakan pasangan Syahrul Agus atas Pasangan Ilham-Azis yang dideklarasikan oleh penyelenggaran Pemilu tidak membuat tensi rivalitas keduanya menurun hingga berakhir di Mahkamah Konstitusi. Ujicoba kesaktian jurus pun berlanjut pada ivent politik dibeberapa perebutan Ketua Golkar Sulsel, beberapa suksesi organisasi hingga pilkada di beberapa Kab/Kota Sulsel, bahkan kabarnya hingga perhelatan politik diluar Sulsel pun kedua sering berhadapan.

Dan pertarungan terakhir keduanya sebelum IAS harus menghadapi masalah hukum yaitu pada perhelatan Pilwalkot Makassar. SYL memainkan dua pasangan jagoannya yaitu Supomo Guntur-Kadir Halid dari Partai Golkar dan Adik kandungnya Irman Yasin Limpo berpasangan dengan Busrah Abdullah, sedangkan Ilham Arief Sirajuddin menjagokan Danny Pomanto yang merupakan sahabat dan juag konsultan yang mendampinginya saat menjawab sebagai Walikota Makassar berpasangan dengan Syamsu Rizal MI kader Demokrat yang selalu mendampingi IAS ketika masih menjabat sebagai Ketua Partai Demokrat Sulsel. Dengan jumlah pasangan calon walikota dan wakil walikota yang cukup banyak yaitu sembilan pasangan, IAS kemudian mempertegas garis wilayah “kekuasaan politiknya” Kota Makassar dengan hasil kemenangan pasangan DIA untuk melanjutkan kepemimpinannya.

Yang menarik pasca sepeninggalan IAS pada kancah politik lokal Sulsel, Sang Komandan seakan kehilangan “pasangan” yang senantiasa mewarnai riak-riak dinamika di Sulawesi Selatan. Ketangguhan politik yang berkarakter khas orang Makassar seakan tak tersalurkan, SYL kemudian menghabiskan waktu menjalankan rutinitas sebagai Gubernur Sulsel dengan tugas melayani masyakat serta menyisir agenda-agenda seremoni pemerintahan. Sekian lama para penikmat episode politik di Sulsel memendam rindu pada letupan-letupan yang tak terduga dari Sang Komandan.

Jika penulis bisa menyimpulkan, bahwa ikut sertanya SYL pada Munaslub Golkar di Bali selain sebagai jalan menuju naik level juga merupakan bentuk ekspresi dari seorang petarung yang cukup lama tak naik ring. Dan salah satu factor sehingga cita dan tujuan tak tercapai di Pulau Dewata adalah SYL kurang arena dan lawan tanding yang sepadan sebagai pemasanan sebelum bertanding.

Menuju 2018, Ivent politik Sulsel dan dibeberapa Kabupaten Kota masih menyisakan beberapa waktu, pastinya perubahan konstalasi politik akan menjadi sangat dinamis. Sehingga banyak petarung politik harus berhati-hati melangkah dan menggunakan juru wait and see  menunggu perkembangan detik per detik, walau terlihat beberapa nama pendatang baru dalam helat politik Sulsel yang akan mewarnai tampilan episode-episode berikutnya. Tapi jika melihat peta hari ini, maka di Finis akan berhadapan para kader tuah sang beringin kuning.

Kedepan klan SYL tak lagi harus takut sendiri, dari progress politik kekinian sepertinya  komandan akan mendapatkan lawan tanding yang sepadan untuk membuktikan kesaktiannya sebagai petarung, apakah lawan tandingnya adalah saudara seperguruannya ataukah pendatang baru yang tangguh kita tunggu episode selanjutnya. Yang pasti di hari minggu pagi ini dengan suasana santai nan sehat oleh Partai Golkar yang bertuah serta Organisasi para anak tentara menjadi babak baru di Sulsel, yang telah membuktikan kembalinya karakter petarung sejati seorang SYL serta kehadiran Nurdin Halid untuk pulang kampung memulai babak baru rivalitas politik sulsel sekaligus penyeimbang kekuatan politik lokal ditanah para pemimpin Bugis Makassar.

Tinggalkan komentar